Dalam banyak hal, internet dipuja bagaikan obat penyembuh dari segala situasi, internet bahkan ditengarai menjadi faktor penentu meletusnya suatu revolusi sosial atau adanya perubahan sosial yang diciptakan dari gerakan yang tidak beraturan. Begitu kuatnya mitos internet, sampai – sampai banyak pemerintahan berupaya mengontrol internet agar tak ada yang memanfaatkan internet sebagai medium untuk menyalakan revolusi
Internet bagaikan pedang bermata dua, ia adalah sahabat sekaligus juga monster yang mengerikan. Tak hanya monster untuk pemerintahan yang otoriter namun juga dianggap monster bagi masyarakat demokratis yang sedang tumbuh dan tercipta. Tak hanya konten positif yang bersliweran di internet tapi juga konten negatif. Tapi banyak pula konten yang masuk “kategori antara”: yang berkisar diantara kutub positif dan kutub negatif.
Tapi benarkah klaim itu? Internet memang canggih, ia seperti makanan dan pakaian saat ini. Kebutuhan akan internet bukan lagi kebutuhan tersier namun telah menjadi kebutuhan primer. Di banyak kesempatan internet digunakan sebagai bagian dari upaya penggalangan orang dan dana. Banyak orang menjadi tergantung dengan internet dengan segala wajah magis disekitarnya. Asumsi ini tak salah memang jika tingkat penetrasi internet secara geografi dan populasi sangat tinggi di suatu daerah.
Percayakah anda dengan apa yang disebut “kekuatan internet” dalam konteks yang positif. Tak ada rumus yang baku bagaimana menggerakan suatu perubahan apalagi revolusi melalui internet. Hanya ada satu rumus yang dari dulu sampai sekarang masih sahih: Pengorganisasian. Dalam suatu waktu, Internet memang mampu mengumpulkan orang tapi internet tetap saja tak mampu mengorganisasikan orang. Untuk menggerakkan suatu perubahan apalagi revolusi diperlukan lebih dari sekedar mengumpulkan tapi mengorganisir.
Begitu juga saya ragu dengan “kekuatan internet” dalam konteks yang negatif. Benarkah konten negatif yang ada di internet akan mampu memberikan dampak secara langsung kepada masyarakat? Apakah konten negatif seperti pornografi, kekerasan, penyebaran kebencian, dan penghasutan akan dimamah biak oleh masyarakat dan akan langsung menimbulkan gejolak sosial? Saya ragu dengan asumsi itu. Pornografi harus diakui malah menjadi daya dorong paling utama orang muda menggunakan internet, jadi meski memiliki sisi yang mungkin bagi sebagian orang negatif tapi pornografi nyatanya adalah pintun masuk pertama orang muda berkenalan dengan internet dan kemudian secara perlahan dan pasti sebagian besar akan meninggalkan konten porno.
Masalah kekerasan, penyebaran kebencian, penghasutan yang tersebar di Internet juga banyak, tapi masalahnya jika pelakunya diketahuipun tak segera diadakan penindakan hukum. Bukan hukumnya yang lemah namun penegakkan hukumnya. Tak usah pula harus online yang orang harus membaca, mengendapkan, dan memikirkan. Di ranah offline lebih dahsyat, pidato – pidato yang menggelorakan semangat “melakukan kejahatan” jelas lebih merusak, daya magis dari pidato yang sangat memukau bisa jauh meresap ke dalam hati ketimbang laman – laman internet ataupun buku.
Lalu, masihkah kita perlu memenjara internet seraya di luar berteriak – teriak tentang wisdom of the crowd? Soal fiksi atau nyata, saya tak hendak menjawabnya karena saya juga bukan seseorang yang mampu melakukan gejala sosial di masyarakat
By: http://anggara.org/
Internet bagaikan pedang bermata dua, ia adalah sahabat sekaligus juga monster yang mengerikan. Tak hanya monster untuk pemerintahan yang otoriter namun juga dianggap monster bagi masyarakat demokratis yang sedang tumbuh dan tercipta. Tak hanya konten positif yang bersliweran di internet tapi juga konten negatif. Tapi banyak pula konten yang masuk “kategori antara”: yang berkisar diantara kutub positif dan kutub negatif.
Tapi benarkah klaim itu? Internet memang canggih, ia seperti makanan dan pakaian saat ini. Kebutuhan akan internet bukan lagi kebutuhan tersier namun telah menjadi kebutuhan primer. Di banyak kesempatan internet digunakan sebagai bagian dari upaya penggalangan orang dan dana. Banyak orang menjadi tergantung dengan internet dengan segala wajah magis disekitarnya. Asumsi ini tak salah memang jika tingkat penetrasi internet secara geografi dan populasi sangat tinggi di suatu daerah.
Percayakah anda dengan apa yang disebut “kekuatan internet” dalam konteks yang positif. Tak ada rumus yang baku bagaimana menggerakan suatu perubahan apalagi revolusi melalui internet. Hanya ada satu rumus yang dari dulu sampai sekarang masih sahih: Pengorganisasian. Dalam suatu waktu, Internet memang mampu mengumpulkan orang tapi internet tetap saja tak mampu mengorganisasikan orang. Untuk menggerakkan suatu perubahan apalagi revolusi diperlukan lebih dari sekedar mengumpulkan tapi mengorganisir.
Begitu juga saya ragu dengan “kekuatan internet” dalam konteks yang negatif. Benarkah konten negatif yang ada di internet akan mampu memberikan dampak secara langsung kepada masyarakat? Apakah konten negatif seperti pornografi, kekerasan, penyebaran kebencian, dan penghasutan akan dimamah biak oleh masyarakat dan akan langsung menimbulkan gejolak sosial? Saya ragu dengan asumsi itu. Pornografi harus diakui malah menjadi daya dorong paling utama orang muda menggunakan internet, jadi meski memiliki sisi yang mungkin bagi sebagian orang negatif tapi pornografi nyatanya adalah pintun masuk pertama orang muda berkenalan dengan internet dan kemudian secara perlahan dan pasti sebagian besar akan meninggalkan konten porno.
Masalah kekerasan, penyebaran kebencian, penghasutan yang tersebar di Internet juga banyak, tapi masalahnya jika pelakunya diketahuipun tak segera diadakan penindakan hukum. Bukan hukumnya yang lemah namun penegakkan hukumnya. Tak usah pula harus online yang orang harus membaca, mengendapkan, dan memikirkan. Di ranah offline lebih dahsyat, pidato – pidato yang menggelorakan semangat “melakukan kejahatan” jelas lebih merusak, daya magis dari pidato yang sangat memukau bisa jauh meresap ke dalam hati ketimbang laman – laman internet ataupun buku.
Lalu, masihkah kita perlu memenjara internet seraya di luar berteriak – teriak tentang wisdom of the crowd? Soal fiksi atau nyata, saya tak hendak menjawabnya karena saya juga bukan seseorang yang mampu melakukan gejala sosial di masyarakat
By: http://anggara.org/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar