Sabtu, 25 Agustus 2012

Antagonis

Führerbunker sudah cukup hening sejak berita pasukan Soviet hanya berjarak dua blok dari lokasi ini. Terlebih lagi setelah terdengar bunyi letusan begitu kencang kanan pelipisku. Kini aku tergeletak di lantai yang memerah dengan darahku sendiri. Sebuah peluru telah menembus kepalaku.

Detik-detik yang akan dirayakan oleh seluruh dunia

Kemudian aku menutup mataku, menikmati kedamaian batin dalam diamku.

Ah, persetan dengan perang.



Aku membuka mataku, berharap bidadari cantik dan gemerlap emas melebihi yang aku pernah lihat menyambutku.

Tapi ternyata aku masih di ruangan yang sama, pipiku masih menempel lantai, darah segar dan basah menempel pada seluruh mukaku. Aku bisa melihat riak pada gumpalan darah karena dengusan nafasku. Aku belum mati.

Aku belum mati, setidaknya belum dengan pikiranku. Tapi aku pun tak bisa bergerak. Dengan sekuat tenaga pun hanya bola mataku yang bisa aku gerakkan. Yang aku lihat hanya genangan darah, sebuah pistol Walther PPK 7.65 mm milikku yang kuberi nama “Geli Raubel“, dan sekretarisku Eva Braun yang terbujur kaku dengan busa dimulutnya. Diantara sisa-sisa nafasku, suara lamat-lamat dentuman meriam dan tembakan senjata, dan sebuah peluru yang seakan-seakan minta maaf tak berhasil membunuhku; aku mengumpulkan semua kenangan dan semua kebanggaan dalam beberapa detik berharga ini sebelum mati.



Perkenalkan.

Namaku: Adolf Hitler.

Akulah yang menyulap dunia menjadi neraka dalam setengah dekade terakhir ini. Dunia tau aku yang memulai perang ini, tapi sedikit yang tau bahwa aku sendiri yang memang berniat mengakhirinya. Aku memang tidak pernah meminati kalkulus semasa hidupku, namun mungkin ini adalah masterpiece perhitunganku.

Bukan,

mungkin bukan masterpiece perhitunganku. Aku lebih suka menyebut ini sebagai seni. Akademie der bildenden Künste Wien boleh saja menolakku, tapi semua tragedi adalah karya lukisanku yang terbesar. Begitu cantiknya yang mungkin akan membuat Michalengelo malu dengan Sistine Chapel-nya. Mereka akan mengira bahwa penetrasi pasukan sekutu dari barat dan pasukan soviet dari Timur lah yang mengakhiri perang ini, tapi semua rencanaku. Kalian hanya pion yang nantinya tidak pernah akan bersyukur karenaku.

“Kematian Adolf Hitler” hanyalah fase akhir dari semua rencanaku. Sejak Juli 1919, ketika aku menjadi Verbindungsmann, hingga kematianku di Führerbunker, adalah kehendakku sendiri. Semua dalam rentang rencanaku. Aku adalah epitom dari sajak yang terukir dalam karya William Ernest Henley: “I am the master of my fate: I am the captain of my soul.”

Hidupmu, hidupku, dalam kendaliku.

Aku memulai perang ini dengan sebuah tujuan. Dan tidak seperti yang kalian bayangkan. Tujuan itu bukanlah membangkitkan Third Reich! Tapi menyatukan dunia!

Kemudian ingatkah kalian ingat moto negara ini?

“Ein Volk, ein Reich, ein Führer“. One people, one realm, one Leader.

Bukan. Bukan seperti yang kalian pikirkan. Bukan Jerman, bukan Third Reich, bukan aku. Moto itu hanya perlambang cita-citaku. Dan cita-citaku bukan Third Reich, tapi kesatuan dunia. Sadarkah betapa naifnya kalian?

Tidak ada cara yang lebih efektif dari ini. Bukankah menyatukan dunia dengan menguasainya hanya akan menimbulkan perang-perang tidak berarti di masa datang? Tapi jika aku menyatukan kalian dengan menciptakan satu musuh untuk dibenci, apa yang kalian lakukan? Kepada siapa moncong senapan kalian arahkan?

Kalian yang selama ini bertarung bak anjing merebutkan tulang, sekarang bertarung bahu membahu memburu kepalaku. Aku telah menyatukan dunia dengan mengarahkan kebencian pada satu orang. Tidak kalian tumpahkan darah sesama, tapi darahku lah yang ingin kalian tumpahkan.

Dan ketika semua ini selesai, kalian akan sadar. Sadar bahwa kalian lebih cocok bediri berdampingan, bukan dengan mocong senapan diarahkan ke kepala satu sama lain.

Maka dengan ini besok tidak ada lagi Perjanjian Versailles yang merugikan. Tidak ada lagi perang yang merenggut nyawa jutaan orang. Semoga ini jadi yang terakhir. Biarkan ini menjadi yang terakhir. Dunia ini jera akan perang. Dunia ini perlu antagonis!

Untuk itu, di sisa-sisa nafasku, ijinkan aku menyelamatimu:

Willkommen in meiner Welt

—————————————–

Cerita ini hanyalah cerita fiksi. Penulis tidak mendukung fasisme dan perang yang dilakukan oleh Hitler.


By: http://adisasmita.wordpress.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar